Usia Tua Yang Muda
Oleh: Pdt. Jotje Hanri Karuh
Karena kesepian, Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahinya dengan usia tiga puluh tahun. Begitu tercipta manusia berteriak kelaparan dan Tuhan menciptakan bungkusan Mie Instan yang pertama. Selanjutnya Tuhan menciptakan ladang dan manusia diajarkan cara bertani. Manusia jadi sibuk mengurusi sawahnya.
Baru seminggu manusia sudah capek. Ia harus mengurus sawah, makan dan melakukan banyak kegiatan lainnya. Lagi-lagi ia mengeluh, “Tuhan, Tuhan saya perlu bantuan. Beri saya sesuatu yang dapat membantu saya di sawah.”
Mendengar keluhan manusia Tuhan menciptakan kerbau pertama. Kerbau pun diberi umur tiga puluh tahun. Rupanya kerbau lebih pintar daripada manusia. Binatang ini bertanya, “Tuhan apa yang harus saya lakukan selama 30 tahun?” Tuhan menjawab bahwa dia harus membantu manusia. Kerbau menoleh ke arah manusia, “Tuhan mohon belas pengasihanMu. Jangan menghukum saya untuk melayani manusia selama 30 tahun. Beri saya umur 10 tahun saja.” Tetapi Tuhan sudah menganggarkan 30 tahun. Jadi ada kelebihan 20 tahun usia kerbau. Tuhan menoleh ke arah manusia, “maukah kamu mendapatkan tambahan umur 20 tahun dari kerbau?” Manusia memang banyak maunya. “Ya deh, boleh deh Tuhan.” Jadi manusia mendapatkan tambahan “usia kerbau” 20 tahun. Sekarang usianya 50 tahun.
Beberapa minggu kemudian manusia menginginkan sesuatu lagi. Kali ini dia butuh sesuatu atau seseorang untuk menjaga rumahnya. Dan Tuhan menciptakan anjing pertama yang diberiNya umur sampai 30 tahun. Anjing ini berpikir daripada melayani manusia selama 30 tahun ia merasa cukup melayani hanya sampai 10 tahun saja. Demikian manusia mendapatkan usia tambahan 20 tahun jatah anjing.
Selanjutnya manusia membutuhkan binatang untuk menemaninya di rumah. Tuhan menciptakan monyet pertama yang juga diberinya umur sampai 30 tahun. Monyet juga cerdik. Ia menolak menjadi pelayan manusia selama 30 tahun dia maunya hanya selama 10 tahun saja. Sisa usia monyet pun diberikan kepada manusia.
Jadi manusia mendapatkan usia total 90 tahun. Tiga puluh tahun pertama ia hidup seperti manusia. Itulah jatah awalnya. Dua puluh tahun berikutnya dia mulai sadar bahwa usianya semakin tua dan ia harus bekerja keras seperti kerbau. Setelah mencapai usia 50 tahun anak-anaknya sudah dewasa, sudah berkeluarga dan ia harus menjadi pengawal rumah seperti anjing. Setelah usia 70 tahun ia tinggal bercermin saja; lihat keriput wajahnya persis seperti monyet.
Cerita tersebut memperlihatkan sebuah sisi dari kehidupan manusia apabila mencapai usia lansia. Cerita itu juga memperlihatkan citra/image yang beredar seputar dongeng tentang mereka yang sudah lanjut usia. Umumnya istilah lanjut usia (Lansia) bermakna negatif, karena tua berarti berkeadaan uzur, sakit-sakitan, kurang tidur dan sebagainya. Lansia identik dengan “renta”, “jompo” dan tidak berguna. Simone de Beauvoir pernah berkata, “orang yang sudah tua tidak berguna bagi masyarakat. Makin tinggi umur orang makin rendah pengetahuannya. Makin maju umur orang makin mundur kecakapan berpikirnya.” Oleh sebab itu, tidak aneh jika banyak orang menyangkali usia tuanya dan enggan kalau disebut lansia. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang mampu menahan proses penuaan. Ia mulai menjadi tua sejak ia dilahirkan.
Banyak kebudayaan tampaknya memang lebih menghargai orang-orang muda daripada orang-orang tua. Proses marginalisasi (peminggiran) terhadap mereka yang berusia lanjut terlihat cukup kuat. Misalnya dalam dunia kerja, kebijaksanaan mengenai pensiun membatasi usia seorang pekerja yang dianggap masih produktif. Padahal tidak semua orang yang termasuk dalam kategori lansia tidak produktif; sebab ada beberapa orang yang tetap segar, kuat bahkan lebih bijaksana dibandingkan mereka yang berusia muda. Contoh lainnya dapat kita lihat dalam penilaian orang yang mengatakan bahwa mereka yang berusia lanjut patutnya dikasihani, dijaga, diperhatikan dan diberi sejumlah uang untuk kebutuhannya. Hal ini memang ada benarnya tetapi tidak seluruhnya benar. Sebab dalam kenyataannya tidak sedikit lansia yang masih aktif dalam berbagai kegiatan sosial bahkan tidak sedikit yang masih mempunyai penghasilan sendiri.
Tetapi perlu dicatat bahwa proses marginalisasi terhadap lansia juga merupakan dampak dari penilaian lansia sendiri terhadap dirinya. Citra/image yang tidak tepat mengenai lansia turut diciptakan oleh lansia sendiri yang kadang lebih senang jadi obyek dari pada menjadi subyek. Senangnya diperhatikan, dimanja-manja, didengarkan tanpa mau dibantah dan mendengarkan pendapat orang lain; banyak mengeluh dan menggerutu terhadap proses penuaan tubuh yang sedang dialaminya, merasa diri tidak berguna dan tidak berharga bagi orang lain.
Salah satu penemuan paling menarik di bidang gerontologi (ilmu mengenai orang lanjut usia) adalah bahwa setiap orang ternyata sekaligus mempunyai tiga usia yang berbeda. Usia Kronologis yang dinyatakan dengan jumlah tahun seseorang hidup; Usia Biologis yang dinyatakan dengan kondisi atau kesehatan tubuh seseorang; dan yang terakhir ialah Usia Psikologis yang diukur dari bagaimana seseorang merasa dan bertindak sebagai orang yang lanjut usia.
Sangat penting bagi para lanjut usia menghindari pandangan sempit dan fatal yang menjadikan usia hanya ditandai dengan jumlah tahun yang telah dijalani, Usia Kronologis. Jadi kalau sudah mencapai usia 60-an rasanya hidup sudah berakhir dan salah satu kaki sudah berada di lubang kubur. Beberapa orang juga cepat merasa tua secara biologis karena mereka merasa tua. Perasaan ini diakibatkan oleh menurunnya kondisi kesehatan walaupun sebenarnya dari segi usia belum mencapai usia 60 tahun. Tetapi sebaliknya sangat penting bagi lansia untuk mengembangkan kategori usia yang ketiga, Usia Psikologis; dimana menurut kategori usia ini walaupun seseorang telah mencapai usia 60-an ke atas dan kondisi kesehatan tubuhnya sudah mulai menurun tetapi apabila semangat hidupnya masih tinggi dan terus berusaha berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuannya maka ia tetap disebut muda. Sebaliknya, apabila seseorang walaupun masih muda usia tetapi sudah putus asa, suka mengeluh dan senangnya diperhatikan maka ia sebenarnya sudah tua.
Dalam Mazmur 92: 13 – 16 dinyatakan bahawa “orang benar akan bertunas seperti pohon korma…..pada masa tua pun mereka masih berbuah…” Pemazmur mengerti betul sifat pohon korma. Umur pohon korma puluhan tahun. Buah korma justru semakin berkualitas ketika pohon itu sudah tua. Dengan contoh pohon korma pemazmur hendak berkata bahwa masa tua adalah masa menghasilkan buah yang bermutu. Apa alasannya? Pemazmur melanjutkan, “…mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah.” Masa tua adalah masa berbuah karena berakar pada Tuhan. Apa tujuan berbuah pada masa tua? Pemazmur menjawab, “…untuk memberitakan bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku…” Artinya masa tua bukanlah untuk menganggur, melainkan ada fungsinya, yaitu bersaksi kepada generasi anak cucu tentang kebesaran dan kesetiaan Tuhan.
Sedangkan dalam Yesaya 46: 3-4 Tuhan menyatakan bahwa, “…sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu…” Firman Tuhan ini hendak menyatakan bahwa Tuhan memelihara kita baik di masa muda maupun di masa tua. Tuhan hadir secara aktif dalam bentangan waktu kehidupan kita. Ayat ini pun memberikan peringatan kepada kita tentang masa tua. Tuhan memberi masa tua bukan untuk digunakan melihat hal-hal yang jelek dan menjengkelkan, Masa tua diberikan bukan untuk mengeluh. Ucapan Tuhan ini mengajak kita untuk melihat hal-hal yang baik yaitu Tuhan sungguh telah bermurah hati dan bahwa kita menjalani masa tua tidak sendirian. Sebab ada Tuhan yang sedang menggendong kita.
Rabbi Heschel yang bijaksana mengatakan, “Tahun-tahun akhir merupakan tahun-tahun pembentukan, kaya akan berbagai kemungkinan untuk menanggalkan berbagai kebodohan hidup, untuk melihat dengan jelas kebohongan-kebohongan diri sendiri, untuk memperdalam pengertian dan kasih. Kemudian menjadi dasar untuk tahun-tahun yang diberkati ini, iman bahwa Allah yang memberi kita hidup terus menerus menopang kita. Kita menjadi tua sebab Dia ingin demikian dan walaupun kita tidak dapat melihat alasannya, tapi alasan itu ada…”
Apa yang harus dilakukan lansia agar di tengah segala keterbatan fisiknya tetap dapat dirasakan kehadirannya oleh keluarga, gereja dan lingkungannya? Meminjam istilah yang dipakai oleh Bapak Indra Natawigena, maka ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian lansia, yaitu:
- Reaktualisasi Diri (kembali mengaktualkan diri). Aktualisasi diri memegang peranan penting dalam perkembangan jiwa seseorang. Seseorang akan tetap mempunyai kepercayaan diri apabila kehadirannya tetap dapat diterima. Untuk hal ini lansia perlu melihat peluang apa yang dapat dilakukannya untuk keluarga dan gereja serta lingkungan sekitarnya. Sehingga ia dapat menunjukkan dan membagikan apa yang menjadi kelebihannya. Jangan pesimis atau putus asa. Sebab tetap ada hal yang dapat dilakukan. Dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan
- Revitalisasi Diri (kembali menyegarkan dan menyemangati diri) untuk mendorong dan memacu diri melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
- Reorganisasi Diri (kembali menata ulang kehidupan). Menjadi tua telah merubah pola hidup seseorang. Dari yang berpengaruh, berperan penting, mengatur jadi tidak berpengaruh dan berperan bahkan akhirnya di atur dan bergantung pada orang lain. Perubahan keadaan ini dapat membuat lansia kehilangan kepercayaan dan harga dirinya. Hal yang paling buruknya ialah lansia kehilangan tujuan hidup yang mungkin selama ini ia bangun. Untuk hal ini lansia perlu menyadari dan menerima keberadaaan dirinya. Ia tidak boleh memungkiri perubahan fisik yang terjadi atas dirinya. Kemampuan menata ulang kehidupan akan memampukan lansia menjalani hidup dengan penuh gairan dan semangat serta berbagi kehidupan dengan sesama yang seumur atau generasi yang dibawahnya dengan sukacita.
Ada kata-kata bijak yang menyatakan, “Menjadi tua adalah sebuah kepastian. Tetapi menjadi dewasa di dalam usia tua adalah sebuah pilihan.” Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat melawan pertambahan usia dan proses penuaan tubuh tetapi menjadi dewasa di usia lansia tidak semua orang dapat melakukannya. Dewasa di usia lansia artinya tetap bersemangat dan bergairah dalam menjalani hidup. Jangan menyia-nyiakan usia lanjut yang Tuhan berikan. Sebab tidak semua orang mendapatkan kesempatan memasuki usia lanjut. Berbagai talenta, keterampilan dan kebijakan pengalaman hidup dapat menjadi sumbangan besar bagi kehidupan generasi yang lebih muda.
Gereja, melalui Komisi Lansia atau Komisi Dewasa unit Lansia perlu memikirkan jenis program dan kegiatan yang memacu lansia tetap dapat mengaktualisasikan dirinya. Dan bukannya program serta kegiatan yang hanya memanjakan dan meninabobokan lansia yang akan semakin memperkuat anggapan bahwa lansia itu memang identik dengan “renta”, “tidak berdaya”, “tidak berguna”, “merepotkan”, “maunya dikasihani” dan lain sebagainya. Sehingga dalam masa tua pun mereka tetap berbuah bagi Tuhan, gereja dan sesamanya.
Menjadi tua adalah sebuah kepastian.
Tetapi menjadi dewasa di dalam usia tua adalah sebuah pilihan